Dari Perbukitan Sambirejo, Kades Termuda Sragen Buktikan Kerja Tanpa Gimmick

Screenshot_20251124-164630_1

Sragen – Desa Sambi kembali menjadi perbincangan hangat. Di tengah hamparan perbukitan Sambirejo yang sejuk, sejumlah tokoh masyarakat menyampaikan apresiasi atas berbagai pembangunan yang dinilai transparan, terbuka, dan menyentuh kebutuhan warga. Di balik deretan perubahan itu, berdirilah sosok kepala desa termuda hasil Pilkades Serentak Sragen 2019—Kresna Widya Permana—yang sejak awal dikenal dekat dengan wong cilik dan tak segan turun langsung menyapa warganya.

Di suatu sore yang teduh, wajah Desa Sambi tampak berubah. Jalan-jalan yang dulu berlubang kini telah rapi. Saluran air yang dulunya kerap mampet, kini tertata. Sejumlah warga terlihat duduk di gardu, membincangkan pembangunan yang menurut mereka dikerjakan secara terbuka dan diumumkan kepada masyarakat tanpa ada yang ditutup-tutupi.

“Semua anggarannya selalu disampaikan. Warga diajak tahu, diajak melihat. Jadi kami paham ke mana dana desa digunakan,” ungkap salah satu tokoh masyarakat, menggambarkan keterbukaan yang selama ini diterapkan pemerintah desa.

Warga juga menjelaskan secara rinci mengenai penggunaan dana desa untuk pembangunan kebun buah desa. Program itu, menurut mereka, adalah langkah strategis meski Desa Sambi belum berstatus desa wisata, sehingga belum memungkinkan untuk membangun kawasan agrowisata secara penuh.

“Karena status desa belum desa wisata, ya kebun buah dulu yang dibangun. Itu juga untuk persiapan jangka panjang,” ujar salah seorang warga lain.

Sosok Kades Muda yang Memulai Perubahan, Nama Kresna Widya Permana bukan nama baru bagi warga Sambi. Pada Pilkades Serentak 2019, ia muncul sebagai salah satu kepala desa termuda dari 167 kepala desa terpilih di Kabupaten Sragen. Meski masih muda, langkahnya kala itu terlihat matang dan penuh energi. Ia berjanji menyambangi 40 RT untuk menyerap aspirasi warga secara langsung—janji yang pelan-pelan ia tunaikan seiring masa jabatannya berjalan.

Enam tahun masa bakti yang dimulai sejak 2019 itu diembannya dengan satu tekad: mengangkat nama Desa Sambi dari zona merah menuju desa maju dan berdaya.

Baca Juga:  Sosok Dodi yang Janjikan Hadiah Rp100 Juta untuk Difabel Belum Terealisasi Hingga Kini

Tugu Nol Kilometer, Ikon Baru yang Banggakan Warga, salah satu karya yang kini menjadi buah bibir adalah Tugu 0 Kilometer Desa Sambi—bangunan menjulang dengan arsitektur unik yang berdiri di pusat persimpangan menuju empat penjuru Sambirejo. Saat malam datang, tugu tersebut memancarkan cahaya yang membuatnya tampak megah, ibarat monumen khas kota besar.

Warga menyebutnya sebagai kebanggaan baru.

“Tugu ini bukan sekadar bangunan,” ujar Kresna saat ditemui. “Ini simbol pemersatu warga. Jadi patokan utama, jadi pusat keramaian, jadi identitas Sambi.”

Tugu tersebut dibangun dari anggaran Rp 165 juta yang berasal dari dana aspirasi. Namun yang membuatnya menarik bukan hanya dana atau bentuknya—melainkan filosofi mendalam di baliknya.

Tugu itu berdiri dengan 7 pilar penopang dan memiliki tinggi tepat 7 meter. Serba tujuh itu bukan kebetulan.

“Angka tujuh itu simbol kesempurnaan sekaligus harapan. Kami ingin setiap pembangunan di desa ini punya makna,” jelas Kresna.

Pembangunan yang Menguatkan Identitas Desa, Warga Desa Sambi sepakat bahwa apa yang dilakukan pemerintah desa tidak hanya sekadar menyelesaikan proyek. Lebih dari itu, pembangunan diarahkan untuk membangun karakter, identitas, dan kebanggaan warga. Dari jalan desa, fasilitas umum, hingga ikon desa seperti tugu nol kilometer, semuanya dilakukan dengan mekanisme transparan dan melibatkan warga.

Di tengah perjalanan memimpin hingga 2025, Kresna terus menegaskan bahwa pembangunan Sambi bukan sekadar deretan angka dalam laporan desa, tetapi sebuah proses panjang mengangkat derajat masyarakatnya.

Dan bagi warga Sambi, perjalanan itu kini telah menunjukkan hasilnya—pelan tetapi pasti.

Sore itu di sebuah warung kopi sederhana di tepi jalan Desa Sambi, asap tipis dari tungku air panas naik perlahan, bercampur aroma kopi tubruk yang baru diseduh. Di sinilah beberapa warga berkumpul, berbicara pelan namun penuh rasa bangga mengenai perubahan yang mereka rasakan enam tahun terakhir. Nama Kepala Desa Kresna Widya Permana kembali disebut—bukan karena kontroversi, melainkan karena apresiasi.

Baca Juga:  RT 09 Gondanglegi Sabet Juara I Turnamen Voli Pemdes Gilirejo Baru CUP 3 HUT RI ke-80

Mereka meneguk kopi satu-satu, lalu obrolan mengalir seperti aliran air Pamsimas yang kini mengalir jernih ke rumah-rumah warga.

Pelayanan Administrasi “Dekat dan Gratis”: MoU Dukcapil yang Mengubah Segalanya

Di antara suara cangkir beradu, seorang warga angkat bicara.
“Sekarang ngurus surat nggak perlu ke kecamatan terus. Di balai desa sudah bisa semua. Gratis pula,” ujarnya dengan nada lega.

Ia lalu menjelaskan bagaimana pemerintahan di bawah Kresna menggandeng Dinas Dukcapil melalui MoU khusus. Hasilnya, tiga layanan penting bisa dilakukan langsung dari Desa Sambi:

Pelita untuk pembuatan Akta Kematian, Barata untuk Akta Kelahiran, Pandu Online untuk pindah datang penduduk.

“Yang belum itu cuma perekaman KTP dan cetaknya saja, juga KIA. Selain itu semua beres di Balai Desa. Warga tinggal datang, disiapkan, gratis tanpa biaya,” tambah warga lain.

Pelayanan itu membuat suasana desa terasa lebih modern tanpa kehilangan kehangatan khas pedesaan.

Tantangan Air Bersih & Sanitasi: Tiga Pamsimas Berdiri, Satu Lagi Segera Menyusul. Di meja kayu warung kopi itu, pembicaraan berubah serius ketika menyentuh persoalan air bersih.

Selama enam tahun, Desa Sambi telah membangun tiga Pamsimas—
dua di antaranya dari Program DAK, dan satu dari BKK.

Namun warga mengakui masih ada satu wilayah yang membutuhkan tambahan Pamsimas.

“Sebenarnya usulan sudah masuk di tahun 2024,” kata seorang tokoh masyarakat sambil menatap ke arah bukit. “Tapi terkendala rekomendasi PDAM. Sekarang rekom sudah turun, semoga cepat terealisasi.”

Untuk sanitasi, warga menyebut tahun ini desa mendapatkan 61 titik bantuan sanitasi, yang mereka harapkan dapat menuntaskan persoalan jamban sehat di masyarakat.

Enam Tahun Perubahan di Sektor Pertanian: Sumur Sawah, Poktan, hingga Perbaikan Saluran,tidak hanya pelayanan dan sanitasi, warga juga menyinggung bagaimana pemerintahan desa memberi perhatian besar pada pertanian—urat nadi ekonomi Desa Sambi.

Baca Juga:  Kejam! Dijanjikan Kerja di RS. Ki Ageng Getas Pendowo, Warga Tegowanu Tertipu Puluhan Juta Rupiah

Selama enam tahun kepemimpinan Kresna, telah dibangun:

8 sumur sawah,

7 Kelompok Tani (Poktan),

1 Gapoktan.

Tahun ini, desa juga menerima bantuan perbaikan saluran bendung Kedungsong, pada 12 titik sekaligus. Harapannya jelas: produktivitas pertanian meningkat untuk mendukung ketahanan pangan nasional, sebagaimana arahan Presiden.

“Warga tani benar-benar merasakan langsung manfaatnya,” ujar salah satu petani yang duduk menyandarkan tubuh pada tiang warung.

Gapura dan Penerangan Menuju Landmark: Sambi Menuju Desa Berdaya ; Empat gapura pintu masuk desa kini kokoh berdiri, seakan menyambut siapa pun yang melintasi Sambi. Sementara itu, penerangan menuju landmark Alun-Alun Desa Sambi terus digenjot.

Desa berharap kawasan ini kelak berkembang menjadi pusat kegiatan masyarakat, pemberdayaan warga, hingga ruang tumbuh UMKM lokal.

“Alun-alun itu nanti bukan sekadar tanah lapang,” ujar warga. “Itu harapan masa depan.”

Akses Listrik: 100 Tiang dan Penambahan Trafo untuk Warga ; Pembicaraan warga di warung kopi kembali mengalir ke sektor lain—listrik. Sebelumnya, beberapa dusun di Sambi sering mengalami keterbatasan akses listrik. Pemerintah desa lalu intens berkirim surat dan koordinasi dengan PLN. Hasilnya kini mulai terasa.

Sudah ada lebih dari 100 tiang listrik baru yang dipasang. Penambahan trafo juga dilakukan di sejumlah titik.

“Hampir semua wilayah sudah teratasi. Rumah-rumah yang dulu gelap, sekarang terang,” lanjut seorang warga sambil tersenyum.

Sore mendekati senja. Dari kejauhan, tugu nol kilometer Desa Sambi tampak memancarkan cahaya, seakan ikut mendengarkan cerita para warga.

Bagi mereka, tugu itu bukan sekadar beton dan lampu;
ia adalah simbol perjalanan panjang—perubahan yang dibangun dengan transparansi, keterbukaan, dan keberanian seorang kepala desa muda mengangkat wajah desanya.

Dan di antara kepulan asap kopi, cerita-cerita itu mengalir, mencatatkan bahwa Desa Sambi kini bukan lagi sekadar desa di lereng Sambirejo, tetapi desa yang bergerak, bertumbuh, dan menyatukan harapan warganya.

Penulisan Orang Pinggiran; iTO

REDAKSI
youtube-video-thumbnail
BUDAYA
DAERAH
PENDIDIKAN
SPORTS
TNI & POLRI
KRIMINAL
TRAVEL
BERITA ISTANA